Orang Banyak Duit Lebih Dihargai, Apa Benar?

Penjelasan hubungan dan apresiasi dalam Psikologi

Fenomena sosial zaman sekarang menunjukkan bahwa orang banyak duit lebih dihargai. Status ekonomi seakan menjadi tolok ukur utama dalam memperlakukan seseorang. Jaman sekarang kurang uang kurang dihargai, bahkan tak jarang orang miskin selalu dihina.

Meski terdengar menyedihkan, nyatanya realitas ini masih terus terjadi di sekitar kita. Lantas, apa penyebabnya? Apakah semua bentuk penghargaan diukur dari materi semata? Mari kita telusuri lebih dalam persoalan ini.

Pengaruh Status Sosial Ekonomi

Orang yang memiliki banyak uang cenderung dianggap lebih sukses, berpengaruh, dan memiliki nilai lebih di mata masyarakat. Kekayaan mereka melahirkan akses terhadap berbagai fasilitas, membuahkan relasi kuat, dan mendatangkan kekaguman dari banyak pihak.

Seringkali, orang yang kaya juga punya kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Ini membuat mereka lebih dihormati karena dianggap mampu membangun dan mengatur banyak hal. Alhasil, kekayaan bukan hanya persoalan pribadi, tapi menjadi simbol prestise sosial.

Di sisi lain, orang dengan ekonomi pas-pasan atau miskin justru sering kali tidak dilibatkan dalam percakapan penting. Mereka dipandang sebelah mata, bahkan distereotipkan sebagai pemalas atau tidak berusaha. Padahal faktanya, banyak dari mereka bekerja lebih keras.

Intinya, persepsi sosial sering kali keliru mengaitkan nilai diri dengan nilai materi. Padahal, harga diri dan martabat seseorang tidak seharusnya ditentukan dari isi dompet.

Zaman Sekarang Kurang Uang Kurang Dihargai

Jaman sekarang, kurang uang kurang dihargai bukan sekadar asumsi, tapi realitas pahit yang sering dialami. Ketika seseorang tidak mampu membeli barang mahal, memakai pakaian bermerek, atau nongkrong di tempat elit, ia sering kali dianggap ‘tidak level’.

Fenomena ini tumbuh subur di era digital. Kehidupan yang dipertontonkan di media sosial menekankan gaya hidup mewah. Ini memicu tekanan sosial bagi mereka yang kondisi finansialnya pas-pasan. Akhirnya, penghargaan terhadap seseorang lebih banyak didasarkan pada tampilan luar.

Padahal, adakalanya orang yang sederhana justru lebih ikhlas, jujur, dan bisa dipercaya. Tetapi lantaran nilai uang lebih dikedepankan, kualitas batin seperti itu kerap terabaikan. Ini menyedihkan, namun memang sering terjadi di sekitar kita.

Dalam konteks ini, penting untuk membangun kesadaran bahwa penghargaan sejati lahir dari nilai kemanusiaan, bukan dari kekayaan. Seseorang bisa dihormati bukan karena hartanya, tetapi karena akhlaknya.

Kenapa Orang Miskin Selalu Dihina

Kenapa orang miskin selalu dihina? Jawabannya terletak pada konstruksi sosial yang mengaitkan kemiskinan dengan kegagalan. Banyak yang beranggapan bahwa miskin itu aib, padahal bukan semua orang punya kesempatan yang sama.

Dahulunya, orang miskin dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang harus dibantu dan didukung. Namun, kini pandangan itu berubah drastis. Mereka dianggap sebagai beban, bahkan tak layak didengar. Ini tentu menyulut ketimpangan sosial yang tajam.

Faktanya, banyak orang miskin yang bekerja keras, jujur, dan penuh integritas. Tetapi karena sistem sosial terlalu materialistik, kerja keras itu tak terlihat. Yang dilihat hanyalah apa yang dimiliki, bukan bagaimana perjuangan di baliknya.

Kesimpulannya, hinaan kepada orang miskin tidak menunjukkan keunggulan orang yang menghina, melainkan kelemahan karakter mereka. Maka, penting untuk melahirkan kembali empati dalam kehidupan sosial kita agar lebih manusiawi.


Daftar Pustaka

  • Lott, B., & Bullock, H. E. (2007). Psychology and economic injustice: Personal, professional, and political intersections. American Psychological Association. Akses 10 Agustus 2025, https://doi.org/10.1037/11501-000
  • Ridgeway, C. L. (2014). Why status matters for inequality. American Sociological Review. Akses 10 Agustus 2025, https://doi.org/10.1177/0003122414538320
  • Piff, P. K., et al. (2010). Having less, giving more: The influence of social class on prosocial behavior. Journal of Personality and Social Psychology. Akses 10 Agustus 2025, https://doi.org/10.1037/a0020092

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *