Perselingkuhan dalam rumah tangga bukan hanya soal cinta yang luntur. Di balik hubungan yang retak, ada serangkaian faktor penyebab perselingkuhan yang bisa memicu pasangan berpaling. Terkadang, perselingkuhan bukan diawali dari kebencian, tapi dari kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi.
Di era serba cepat ini, menjaga hubungan tetap harmonis memang menantang. Banyak pasangan yang mulanya bahagia, akhirnya harus menghadapi masalah yang pelik. Salah satunya adalah kehadiran orang ketiga, yang memicu ketidaksetiaan dan mengakibatkan krisis dalam pernikahan.
Faktor Penyebab Perselingkuhan
Ada banyak penyebab perselingkuhan dalam rumah tangga. Masalah komunikasi, keintiman, hingga dorongan emosional bisa jadi akar masalah.
Pertama, komunikasi yang tidak berjalan baik sering kali melahirkan kesalahpahaman. Suami atau istri merasa tidak dipahami, hingga akhirnya mencari pelarian. Hal ini dikarenakan komunikasi yang buruk bisa menumpuk emosi negatif.
Kedua, hubungan seksual yang monoton atau tidak memuaskan menjadi penyebab yang signifikan. Biarpun terdengar sepele, aspek ini sangat penting dalam pernikahan. Menurut Journal of Sex Research, kepuasan seksual yang rendah dapat menyulut perselingkuhan.
Ketiga, kurangnya apresiasi dan perhatian bisa membuat pasangan merasa terabaikan. Betapapun seseorang tampak kuat, ia tetap membutuhkan pengakuan dari pasangannya. Ketika itu tidak didapatkan, celah untuk selingkuh semakin terbuka.
Biasanya, perselingkuhan tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada proses yang terjadi secara perlahan. Seringkali, hal ini bermula dari curhat emosional yang berkembang menjadi kedekatan fisik.
Kemudian, faktor lingkungan dan teman juga mempengaruhi. Bila seseorang berada di lingkungan yang permisif terhadap selingkuh, maka normalisasi tindakan itu bisa terjadi. Apalagi jika teman-teman dekat melakukan hal yang sama.
Selanjutnya, penggunaan media sosial tanpa batas bisa memicu masalah. Interaksi intens dengan lawan jenis di platform digital dapat membuka pintu perselingkuhan. Bahkan, hal ini seringkali dimulai dari hubungan virtual.
Maka dari itu, penting bagi pasangan untuk menerapkan batasan dan menjaga keterbukaan. Mengatur penggunaan media sosial secara sehat bisa menekan risiko munculnya pihak ketiga.
Bahwasannya, stres dan tekanan hidup juga menyumbang andil besar. Kondisi ini membuat individu mencari pelarian yang tampak menyenangkan, meskipun sesaat. Biasanya, perselingkuhan yang terjadi dalam masa stres lebih bersifat pelampiasan.
Kadang-kadang, trauma masa kecil atau pengalaman ditinggalkan juga memicu ketidaksetiaan. Mereka yang belum menyembuhkan luka emosional cenderung mengulangi pola tersebut dalam hubungan dewasa.
Pria Selingkuh Apakah Mencintai Selingkuhannya
Memahami alasan pria selingkuh seringkali membingungkan. Apakah pria selingkuh mencintai selingkuhannya? Jawabannya tidak selalu.
Memang, sebagian pria menjalin hubungan emosional yang dalam dengan selingkuhan. Mereka merasa lebih dihargai, didengarkan, bahkan dipuji. Ini menciptakan ikatan yang tampaknya lebih menyenangkan daripada hubungan utama.
Namun, banyak pria yang hanya terjebak dalam kenikmatan sesaat. Menurut Psychology Today, sebagian besar pria yang selingkuh tetap mencintai pasangannya. Perselingkuhan bukan karena cinta yang hilang, tapi karena kebutuhan emosional yang tak terpenuhi.
Akhirnya, perselingkuhan itu bukan soal memilih antara dua cinta. Tapi soal pelarian dari realita yang dianggap membosankan. Ketika pria merasa dihargai oleh wanita lain, ia bisa tergoda untuk berpaling meski masih mencintai istrinya.
Sebetulnya, hal ini menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dalam hubungan. Jika kebutuhan emosional dibicarakan secara terbuka, maka potensi perselingkuhan bisa ditekan.
Sayangnya, tidak semua pasangan mampu membangun komunikasi yang sehat. Kapanpun komunikasi mulai terputus, maka risiko retaknya rumah tangga meningkat.
Kadang-kadang, pria bahkan tidak menyadari bahwa ia sedang selingkuh secara emosional. Ia menganggap hanya berteman dekat, padahal hubungan itu sudah menyimpang dari batas kewajaran.
Intinya, cinta dan loyalitas adalah dua hal berbeda. Seorang pria bisa mencintai pasangannya, namun tetap berselingkuh karena tidak mampu mengendalikan dorongan emosinya.
Rupanya, bukan cinta yang jadi motivasi utama. Tapi ego, ketidakpuasan, dan keinginan merasa diinginkan. Maka dari itu, membina hubungan yang sehat dan terbuka sangat penting dilakukan sejak awal pernikahan.
Menjaga Hubungan Agar Harmonis
Agar rumah tangga terhindar dari godaan perselingkuhan, perlu usaha bersama. Menjaga keintiman dan kepercayaan jadi kunci utama.
Pertama, pasangan perlu mempersiapkan komunikasi yang jujur sejak awal. Membangun ruang diskusi tanpa saling menyalahkan adalah fondasi penting.
Kedua, adakalanya rutinitas membosankan harus dibongkar. Mengadakan waktu berkualitas berdua dapat menyegarkan hubungan. Meski sesederhana makan malam berdua, kegiatan ini membuahkan dampak besar.
Selanjutnya, pasangan juga harus menyusun batasan-batasan yang jelas. Hal ini termasuk dalam penggunaan media sosial, hubungan dengan rekan kerja, dan privasi.
Selain itu, penting untuk terus membariskan komitmen satu sama lain. Membentuk tujuan bersama, misalnya rencana keuangan atau liburan, bisa menciptakan ikatan emosional yang kuat.
Faktanya, hubungan yang saling mengisi akan lebih tahan uji. Ketika kebutuhan emosional dan fisik terpenuhi, maka celah untuk perselingkuhan semakin sempit.
Setidaknya, masing-masing pasangan perlu mengenali potensi konflik. Dengan begitu, mereka bisa merancang solusi sejak awal. Membentuk rutinitas evaluasi hubungan juga bisa menjadi langkah preventif yang efektif.
Mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga juga penting. Jangan sampai pekerjaan melantarkan waktu bersama pasangan. Biasanya, kurangnya waktu berkualitas bisa membuat pasangan merasa kesepian.
Akhirnya, memperkuat spiritualitas dan nilai dalam hubungan juga sangat membantu. Pasangan yang menerapkan nilai saling menghormati cenderung lebih mampu mengatasi godaan eksternal.
Maka, jangan tunda untuk menjalankan upaya perbaikan dalam rumah tangga. Setiap tindakan kecil yang dilakukan secara konsisten bisa menjadi benteng terhadap godaan perselingkuhan.
Daftar Pustaka:
- Allen, E. S., Atkins, D. C., Baucom, D. H., Snyder, D. K., Gordon, K. C., & Glass, S. P. (2005). Intrapersonal, interpersonal, and contextual factors in engaging in and responding to extramarital involvement. Journal of Sex Research. Akses: 10 Agustus 2025, https://doi.org/10.1080/00224490509552280
- Whisman, M. A., & Snyder, D. K. (2007). Sexual infidelity in a national survey of American women: Differences in prevalence and correlates as a function of method of assessment. Journal of Family Psychology. Akses: 10 Agustus 2025, https://doi.org/10.1037/0893-3200.21.2.147
- Atkins, D. C., Baucom, D. H., & Jacobson, N. S. (2001). Understanding infidelity: Correlates in a national random sample. Journal of Family Psychology. Akses: 10 Agustus 2025, https://doi.org/10.1037/0893-3200.15.4.735